Showing posts with label Ideologi. Show all posts
Showing posts with label Ideologi. Show all posts

Bantahan Tentang Adat Minangkabau, Dan Jawabannya

Pertentangan agama dan adat bukanlah hal baru dalam sejarah perkembangan Minangkabau. Pada masa Belanda, isu pertentangan ini juga pernah dijadikan Belanda sebagai cara untuk memecah-belah persatuan masyarakat Minangkabau, hingga meletuslah Perang Paderi.

Alhamdulillah, bukannya memecah dan merusak Ranah Minang, Perang Paderi malah membawa berkah. Berkat Perang Paderilah muncul Sumpah Sati Bukik Marapalam pada tahun 1837, yang berbunyi, Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah. Adat manurun, syarak mandaki. Adat nan kawi, syarak nan lazim. Syarak mangato, adat mamakai. Tuhan basifat qadim, manusia basifat khilaf.”.

Dengan adanya Perang Paderi, terciptalah keharmonisan antara adat dan Islam. Segala hal yang bertentangan dihapus, sedangkan hal yang sudah pas dipatenkan. (Terima kasih kepada Tuanku Imam Bonjol Malin Basa, Harimau nan Salapan, serta inyiak-inyiak kita yang telah berjasa)

Namun sayang, kini, pertentangan-pertentangan adat dan agama kembali mencuat. Dan lebih sayang lagi, pertentangan ini dibuat-buat oleh mereka yang tidak paham agama, tidak pula mengerti adat. Bahkan jangan-jangan, pertentangan ini juga dimunculkan untuk mengadu domba umat?

Nah, apa saja pertentangan agama dan adat yang dituduhkan?

1. Warisan dalam adat Minangkabau hanya jatuh pada perempuan

Saat ada yang mengatakan bahwa lelaki tidak mendapatkan harta warisan di Ranah Minang, di situ kadang saya geli. Bagaimana tidak?

Dalam adat Minangkabau, ada 3 macam harta. Pertama, harato pusako tinggi. Kedua, harato pusako randah. Ketiga, harato pancarian.

Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa harato pancarian adalah milik pribadi, sehingga jika si pemilik meninggal, maka harato pancarian ini akan dibagikan kepada ahli warisnya sesuai dengan aturan faraid dalam Islam. Laki-laki dapat, perempuan juga dapat,dengan syarat ada dalam daftar penerima warisan.

Berbeda dengan harato pusako tinggi dan harato pusako randah. Dua harta ini bukanlah milik pribadi si mayat, melainkan milik kaum. Istimewanya, harta ini hanya mencakup benda properti ; tanah, kebun, rumah, tanah pekuburan, kolam.

Dalam kepengurusan harta ini, yang ada hanyalah hak untuk menggunakan, tidak ada hak kepemilikan, sehingga adalah dosa besar, jika harta ini dijual kemudian hasilnya dimakan sendiri tanpa tuntutan keadaan yang mengharuskan.

Karena harato pusako tinggi dan harato pusako randah pada dasarnya adalah milik kaum, maka saat si pengelola meninggal, dua harta ini tidak diwariskan kepada ahli warisnya, melainkan dikembalikan kepada kaum, kemudian pimpinan adat (Niniak Mamak) akan memutuskan bagaimana nasib tanah ini kemudian.

Bukankah pengertian mawaris dalam fikih adalah : Aturan-aturan fikih dan matematika, yang dengannya diketahui bagian setiap ahli waris dari harta peninggalan si mayat. 

Karena yang dibagikan hanyalah harta peninggalan si mayat, maka yang bukan harta si mayat dikembalikan kepada pemilik aslinya. Begitu pula dengan harato pusako randah dan harato pusako tinggi, dikembalikan kepada kaum.

Hal ini juga membantah tuduhan bahwa tanah di Minangkabau itu seluruhnya haram. Bagaimana mungkin tanah tersebut haram, jika lahan dahulu dibuka secara bersama-sama, kemudian dijadikan milik bersama (milik kaum)? Yang haram itu adalah saat harta milik bersama ini kemudian dijual, kemudian hasil penjualannya dimakan. Lebih parah lagi, setelah tanah pusaka dijual, di atasnya dibangun gereja atau rumah ibadah lain. Na'uzubillah.

Memang, dalam prakteknya, pembagian harato pusako ini menimbulkan banyak perselisihan. Menurut hemat penulis, perselisihan yang muncul adalah karena para pimpinan adat (Datuak) yang seharusnya mengurus negerinya, malah lebih asyik hidup di daerah lain, sehingga amanahnya tersia-siakan. Jika para datuak komitmen dengan amanah yang dipercayakan kepada mereka, tentu perselisihan macam ini tidak akan terjadi.

2. Nikah satu suku dalam satu nagari dilarang, meskipun tidak ada ikatan mahram

Dalam adat Minangkabau, ada larangan khusus dalam pernikahan, yaitu orang yang satu suku (marga), memiliki datuak yang sama, berada dalam nagari (setara dengan kelurahan) yang sama, maka ia dilarang untuk menikah karena masih terhitung sebagaidunsanak.

Aturan ini tidaklah bertentangan dengan agama, karena melarang sesuatu yang didiamkan oleh agama boleh-boleh saja jika ditinjau ada manfaatnya. Yang tidak boleh itu adalah melarang sesuatu yang diwajibkan, seperti larangan berjilbab atau larang salat. Penjelasan larangan ini bisa dilihat di dalam buku-buku fikih, mengenai cakupan hak perintah dari uli'l amri.

Berikut analoginya :

Bukankah sekolah boleh melarang muridnya berrambut panjang, padahal dalam Islam, rambut panjang diperbolehkan. Bahkan, dalam satu riwayat, dikatakan bahwa rambut Rasulullah Saw panjangnya sampai ke bahu. Dalam aturan ini, pantaskah kita katakan kalau sekolah itu sekolah kafir karena melarang sesuatu yang diperbolehkan agama? Tentu tidak. Begitu pula dengan adat.

Contoh lainnya, pada umumnya, orang tua pasti akan melarang anak bujangnya yang berumur 20 tahun jika ingin menikahi janda berumur 45 tahun. Padahal hal in sah-sah saja dalam agama, bahkan dalam beberapa keadaan malah disunnahkan. Apakah jika orang tua melarang, kita katakan bahwa orang tua sudah kafir? Tidak!

Begitu pula dengan adat. Adat larang kaumnya untuk menikahi kerabat satu suku, karena melihat banyak manfaat. Bukankah kita lihat, salah satu bentuk fanatisme buta adalah tidak menikah dengan orang yang berbeda golongan?

3. Wanita melamar laki-laki

Ini adalah tuduhan  yang lebih ngawur lagi. Dalam adat Minangkabau, yang melamar bukan wanita, melainkan keluarga si wanita. Mengapa? Karena memang begitulah seharusnya orang tua, berkeinginan kuat agar anak perempuannya mendapatkan jodoh yang terbaik. Bukankah Umar bin Khattab RA juga antusias mencarikan suami untuk anak beliau, Hafshah binti Umar?

Dan satu hal yang perlu diketahui, bahwa ternyata, dahulu Rasulullah Saw juga dilamar oleh wanita, yaitu Siti Khadijah RA, istri pertama Rasulullah Saw yang paling beliau cintai, yang tidak pernah beliau madu hingga beliau (Khadijah) meninggal. Untuk catatan, lamaran tersebut melalui perantara, tidak secara langsung.

4. Laki-laki tinggal di rumah istrinya setelah menikah

Dalam Islam, tidak ada aturan ketat dalam urusaan tempat tinggal. Sesorang boleh tinggal dimana saja, rumah diakah, rumah suaminyakah, rumah istrinyakah, ataupun rumah mertua.

Dalam adat Minangkabau, seorang lelaki setelah menikah harus tinggal di rumah mertua, meskipun tidak selamanya, karena banyak juga yang pindah setelah punya anak, karena rumah mertua tak lagi mencukupi. Jika kita jeli, kita dapat melihat manfaat luar biasa dari aturan ini.

Di awal rumah tangga, wanita yang belum terbiasa masak akan lebih intensif untuk belajar kembali dari ibunya. Keselamatan si wanita juga lebih terjaga, karena segala gerak-gerik suaminya diperhatikan. Tidak akan ada cerita KDRT, karena di rumah istri ada ayahnya, ada saudara laki-lakinya.

Menurut beberapa penelitian, permasalahan rumah tangga banyak muncul saat wanita tinggal di rumah si laki-laki, akibat ibu laki-laki yang tidak suka dengan istrinya. Bukankah sering kita dengar, bahwa hungungan istri dan ibu adalah hubungan yang rumit, dan kecemburuan antara keduanya adalah kecemburuan yang tidak bisa dijelaskan.

Dari sini, kita lihat, bahwa tidak ada pertentangan antara agama dan adat. Malah, jika dikaitkan dengan ilmu qawaid fiqhiyyah, maka boleh jadi hukum lelaki tinggal di rumah istrinya di awal pernikahan adalah sunnah.

Dan lagi, fakta yang tak bisa dibantah adalah, bahwa Rasulullah Saw juga diboyong ke rumah Siti Khadijah setelah beliau berdua resmi menikah. Dan perlu diketahui bahwaRasulullah Saw merupakan teladan terbaik, baik sebelum maupun setelah kenabian.Bukankah teladan Rasulullah Saw dalam berdagang kita dapati sebelum beliau menjadi Nabi?

5. Nasab orang Minang diturunkan dari ibu

Ini adalah pernyataan yang didasari oleh logika yang tidak sehat. Memang, dalam adat Minangkabau, suku dan marga itu diturunkan oleh ibu. Jika ibu bersuku Pisang, maka anaknya juga pisang. Jika ibunya bersuku guci, maka anaknya bersuku guci pula.

Di sini kita harus bedakan, mana yang suku, mana yang nasab. Tidak ada istilah, bahwa di Minang nasab anak turun dari ibu. Tidak pernah sekalipun terdengan “Fulan bin Ibunya”. Yang ada hanyalah fulan bin ayahnya, seperti Fakhry Emil Habib bin Asra Faber.

Karena jika kita katakan bahwa nasab orang Minang diturunkan dari ibu, otomatis yang menikahkan anak perempuan nanti adalah ibunya, pun, yang wajib menafkahi anak-anaknya adalah ibu. Namun kenyataannya, dalam praktek tidak demikian. Setiap anak di Minangkabau tetap dinikahkan oleh ayahnya, pun kewajiban nafkah keluarga di Minangkabau tetap tanggungan seorang bapak, bukan ibu.

Polanya tetap begitu dan akan selalu sama, bahwa suku turun dari ibu, sedangkan nasab tetap turun dari ayah. Maka dari itu, tidak patut dikatakan bahwa dalam urusan nasab, Minangkabau menyalahi agama.

Mudah-mudahan penjelasan ini cukup untuk mengobati penasaran dunsanak yang ingin mengkaji lebih dalam tentang adat. Satu pesan kami, boleh jadi sesuatu itu terlihat bertentangan, namun setelah dikaji, ternyata malah akur dan berkesesuaian.

Lagi, jangan mudah menghukumi adat dan agama, sebelum kita berdalam-dalam mengkaji keduanya. Buya Hamka saja, yang kepakarannya diakui dunia, bahkan dari Universitas Al-Azhar mendapatkan gelar Honoris Causa, bangga karena begitu akurnya Islam dan Minang. Lalu siapa kita? Pahamkah kita adat? Sudahkah kita kuasai ilmu agama beserta cabang-cabangnya? :)


Wallahu a`lam. Semoga Allah selalu menuntun kita untuk jadi lebih baik.. (^_^)

-----------------------
Referensi :
Adat Minangkabau :
- Sjafnir Aboe Nain Datuak Kando Marajo, 200th Tuanku Imam Bonjol, Suara Muhammadiyah, Pasaman, 1988
- Zamris Datuak Rajo Sigoto, Budaya Alam Minangkabau, Jasa Surya, Padang, 2011
- Bakri Bagindo Nan Sati, Adat Lamo Pusako Usang Sarato Pitaruah Mandeh, Pribadi, 2007
- Referensi lain penulis dapat dari bertanya langsung pada tokoh-tokoh adat di sekitar penulis, terutama Ayah, Drs. Asra Faber, M.A. Malin Mudo

Syariah Islam :
- Prof. Dr. Wahbah Azzuhaili, Mausu`atu'l Fiqhi'l Islami, Darul Fikri, Damaskus, 2012
- Tim Profesor Jurusan Fikih Kuliah Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Fiqhu'l Mawarits, Kairo, 2013
- Tim Profesor Jurusan FIkih Kuliah Syariah dan Hukum Universitas Al-Azhar, Al-Ahwalu's Syakhshiyyah, Kairo, 2013
- Dr. Abdul Aziz Muhammad Azzam, Al-Qawaidu'l Fiqhiyyah, Darul Hadits, Kairo, 2005
- Dr. Muhammad Syafii Antonio, Mec, Muhammad SAW: The Super Leader Super Manager,ProLM Centre & Tazkia Multimedia, 200
- Zainuddin Al-Malibari Al-Fannani As-Syafi'i, Fathu'l Mu'in, 987H
- Muhammad bin Qasim Al-Ghazzi, Fathu'l Qaribi'l Mujib, Darul Bashair, Kairo, 2012  

*Beberapa referensi fikih berbahasa Arab merupakan kitab-kitab klasik, dan penulis mengambil rujukan kepada cetakan terbaru.
Read More

Rumah Gadang, Arsitektur Megah Asli Minangkabau


Rumah Gadang merupakan rumah tradisional hasil kebudayaan suku Minangkabau yang hidup di daerah Bukit Barisan di sepanjang pantai barat Pulau Sumatera bagian tengah. Sebagaimana halnya rumah di daerah katulistiwa, rumah gadang dibangun di atas tiang (panggung), mempunyai kolong yang tinggi. Atapnya yang lancip merupakan arsitektur yang khas yang membedakannya dengan bangunan suku bangsa lain di daerah garis katulistiwa itu.


Sebagai suatu kreatifitas kebudayaan suku bangsa, ia dinyatakan dengan rasa bangga, dengan bahasa yang liris, serta metafora yang indah dan kaya. Juga ia diucapkan dengan gaya yang beralun pada pidato dalam situasi yang tepat.



Bunyinya ialah sebagai berikut :



Rumah gadang sambilan ruang,
salanja kudo balari, sapakiak budak maimbau,
sajariah kubin malayang.
Gonjongnyo rabuang mambasuik,
antiang-antiangnyo disemba alang.

Parabuangnyo si ula gerang,
batatah timah putiah,
barasuak tareh limpato,
Cucurannyo alang babega,
saga tasusun bak bada mudiak.

Parannyo si ula gerang batata aia ameh,
salo-manyalo aia perak.
Jariaunyo puyuah balari,
indah sungguah dipandang mato,
tagamba dalam sanubari. 

Dindiang ari dilanja paneh.
Tiang panjang si maharajo lelo,
tiang pangiriang mantari dalapan,
tiang dalapan, tiang tapi panagua jamu,
tiang dalam puti bakabuang. 

Ukiran tonggak jadi ukuran,
batatah aia ameh,
disapuah jo tanah kawi,
kamilau mato mamandang. 

Dama tirih bintang kemarau.
Batu tala pakan camin talayang.
Cibuak mariau baru sudah.
Pananjua parian bapantua.

Halaman kasiak tabantang,
pasia lumek bagai ditintiang.
Pakarangan bapaga hiduik,
pudiang ameh paga lua,
pudiang perak paga dalam,
batang kamuniang pautan kudo,
Lasuangnyo batu balariak,
alunyo linpato bulek,
limau manih sandarannyo. 

Gadih manumbuak jolong gadang,
ayam mancangkua jolong turun,
lah kanyang baru disiuahkan,
Jo panggalan sirantiah dolai,
ujuangnyo dibari bajambua suto. 

Ado pulo bakolam ikan,
aianyo bagai mato kuciang,
lumpua tido lumuikpun tido,
ikan sapek babayangan,
ikan gariang jinak-jinak,
ikan puyu barandai ameh. 
Rangkiangnyo tujuah sajaja,
di tangah si tinjau lauik,
panjapuik dagang lalu,
paninjau pancalang masuak,
di kanan si bayau bayau,
lumbuang makan patang pagi,
di kiri si tangguang lapa,
tampek si miskin salang tenggang,
panolong urang kampuang
di musim lapa gantuang tungku,
lumbuang Kaciak salo nanyalo,
tampek manyimpan padi abuan. 



Artinya :



Rumah gadang sembilan ruang,
sejajar kuda berlari,
sepekik budak memanggil,
sepuas limpato makan,
sejerih kubin melayang.
Gonjongnya bambu membersit,
anting-anting disambar elang.



Perabungnya si ular gerang,
bertatah timah putih,
berasuk teras limpato.
Cucurannya elang berbegar,
sagar tersusun bagai badar mudik.



Parannya bak si bianglala,
bertatah air emas,
sela-menyela air perak.
Jeriaunya puyuh berlari,
indah sungguh dipandang mata,
tergambar dalam sanubari. 



Dinding ari dilanjar panas.
Tiang panjang si maharajalela,
tiang pengiring menteri delapan,
tiang tepi penegur tamu,
tiang dalam putri berkabung. 



Ukiran tonggak jadi ukuran,
bertatah air emas,
disepuh dengan tanah kawi,
kemilau mata memandang. 
Damar tiris bintang kemarau.



Batu telapakan cermin terlayang,
Cibuk meriau baru sudah,
penanjur perian ber pantul.



Halaman kersik terbentang,
pasir lumat bagai ditinting.
Pekarangan berpagar hidup,
puding emas pagar luar,
puding merah pagar dalam.
Pohon kemuning pautan kuda.
Lesungnya batu berlari,
alunya limpato bulat.
Limau manis sandarannya. 



Gadis menumbuk jolong gadang,
ayam mencangkur jolong turun,
sudah kenyang baru dihalaukan,
dengan galah sirantih dolai,
ujungnya diberi berjambul sutera. 



Ada pula kolam ikan,
airnya bagai mata kucing,
berlumpur tidak berlumut pun tidak,
ikan sepat berlayangan,
ikan garing jinak-jinak,
ikan puyu beradai emas. 



Rangkiangnya tujuh sejajar,
di tengah sitinjau laut,
penjemput dagang lalu,
peninjau pencalang masuk,
di kanan si bayau-bayau,
lumbung makan petang pagi,
di kiri si tanggung lapar,
tempat si miskin selang tenggang,
penolong orang kampung,
di musim lapar gantung tungku,
lumbung kecil sela-menyela,
tempat menyimpan padi abuan.




ARSITEKTUR



Masyarakat Minangkabau sebagai suku bangsa yang nenganut falsafah “alam takambang jadi guru”, mereka menyelaraskan kehidupan pada susunan alam yang harmonis tetapi juga dinamis, sehingga kehidupannya menganut teori dialektis, yang mereka sebut “bakarano bakajadian” (bersebab dan berakibat) yang menimbulkan berbagai pertentangan dan keseimbangan. Buah karyanya yang menumental seperti rumah gadang itu pun mengandung rumusan falsafah itu. 



BENTUK DASARNYA



Rumah gadang itu persegi empat yang tidak simetris yang mengembang ke atas. Atapnya melengkung tajam seperti bentuk tanduk kerbau, sedangkan lengkung badan rumah Iandai seperti badan kapal. Bentuk badan rumah gadang yang segi empat yang membesar ke atas (trapesium terbalik) sisinya melengkung kedalam atau rendah di bagian tengah, secara estetika merupakan komposisi yang dinamis.



Jika dilihat pula dari sebelah sisi bangunan (penampang), maka segi empat yang membesar ke atas ditutup oleh bentuk segi tiga yang juga sisi segi tiga itu melengkung ke arah dalam, semuanya membentuk suatu keseimbangan estetika yang sesuai dengan ajaran hidup mereka. 



Sebagai suku bangsa yang menganut falsafah alam, garis dan bentuk rumah gadangnya kelihatan serasi dengan bentuk alam Bukit Barisan yang bagian puncaknya bergaris lengkung yang meninggi pada bagian tengahnya serta garis lerengnya melengkung dan mengembang ke bawah dengan bentuk bersegi tiga pula. 



Jadi, garis alam Bukit Barisan dan garis rumah gadang merupakan garis-garis yang berlawanan, tetapi merupakan komposisi yang harmonis jika dilihat secara estetika. Jika dilihat dan segi fungsinya, garis-garis rumah gadang menunjukkan penyesuaian dengan alam tropis. Atapnya yang lancip berguna untuk membebaskan endapan air pada ijuk yang berlapis-lapis itu, sehingga air hujan yang betapa pun sifat curahannya akan meluncur cepat pada atapnya. 



Bangun rumah yang membesar ke atas, yang mereka sebut silek, membebaskannya dan terpaan tampias. Kolongnya yang tinggi memberikan hawa yang segar, terutama pada musim panas. Di samping itu rumah gadang dibangun berjajaran menurut arah mata angin dari utara ke selatan guna membebaskannya dari panas matahari serta terpaan angin. 



Jika dilihat secara keseluruhan, arsitektur rumah gadang itu dibangun menurut syarat-syarat estetika dan fungsi yang sesuai dengan kodrat atau yang mengandung nilai-nilai kesatuan, kelarasan, keseimbangan, dan kesetangkupan dalam keutuhannya yang padu.
Read More